Bupati Jember Dikecam, Terima Honor Rp70 Juta Dari Pemakaman Korban Covid-19

Ilustrasi pemakaman jenazah pasien Covid-19 di Indonesia. Foto oleh Timur Matahari/AFP

Tidak pernah terbayangkan bahwa akan datang masa ketika para pejabat tega mengambil jatah uang dari kematian warganya sendiri.

Bupati Jember Hendy Siswanto mengaku telah menerima honor dari setiap kematian akibat Covid-19 di wilayahnya senilai Rp100 ribu per pemakaman. Total, dari 705 korban, nominal Rp70,5 juta udah masuk kantong Hendy. Yang parah, jatah “uang kematian” itu juga diberikan kepada Sekretaris Daerah Mirfano, Plt. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah M. Jamil, dan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Jember Heru Widagdo. Total, anggaran untuk empat orang ini mencapai Rp282 juta.

Hendy mengklaim bahwa uang tersebut langsung disalurkan ke keluarga korban Covid-19.

“Memang benar saya menerima honor sebagai pengarah karena regulasinya ada itu. Ada tim di bawahnya juga. Kaitannya tentang monitoring dan evaluasi,” kata Hendy dilansir Detik, Kamis (26/8) kemarin. “Untuk jumlahnya kok sampai kurang lebih Rp70,5 juta? Karena itu total dari banyaknya korban yang meninggal akibat Covid-19 itu, 705 orang,” tambah Hendy.

Sang bupati menjelaskan praktik honor per pemakaman ini lumrah di instansi pemerintahan. “Terus terang saja, adanya honor itu sesuai dengan regulasi. Saya juga taat dengan regulasi yang saya ikuti. Dari pagi sampai malam banget [pekerjaannya].”

Kabar ini membuat publik Jember muntab, termasuk di medsos. Pertama, karena ternyata ada mekanisme honor untuk pengambil kebijakan yang besarannya makin tinggi ketika ketika semakin banyak orang meninggal. Padahal para pejabat ini tak menghadapi risiko lapangan sebesar yang ditanggung tenaga kesehatan dan petugas pemakaman. Tambah lagi, pemimpin pemerintahan diketahui mendapat privilese seperti dapat vaksinasi booster duluan.

Kedua, kok bisa honor ke para “pengarah” ini diberikan sedemikian besarnya, sementara masih banyak insentif para tenaga lepasan di tim pemulasaran yang nunggak, padahal mereka beneran kerja dari pagi sampai malam? Anggota Komisi D DPRD Jember Ardi Pujo Prabowo bahkan pernah bercerita bahwa relawan pemulasaran jenazah di Jember banyak yang mundur karena tak ada honornya.

Semakin melengkapi penderitaan terlahir WNI, Kementerian Dalam Negeri terkesan lepas tangan. Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian menjelaskan mekanisme honorarium adalah kuasa pemerintah daerah.

“Jadi, kebijakan honorarium itu pemberian atas suatu kegiatan itu diserahkan masing-masing pemerintah daerah. Namun, yang perlu dipahami jangan sampai itu diberikan atas kegiatan yang bersifat rutin,” kata Ardian kepada Merdeka. 

VICE coba mempelajari dasar hukum manuver Hendy dan koleganya ini, tapi malah jadi pusing. Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi mengutip bila penganggaran semacam itu sah-sah saja karena sudah sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan Tahunan Anggaran 2021. Itqan mengatakan, perihal nominal juga sudah diatur di beleid tersebut.

VICE mencoba mencari pasal yang dimaksud Itqon di regulasi yang ia maksud (bisa dicek di sini), namun tidak mendapati pasal yang sekiranya bisa jadi acuan dalam penganggaran honorarium bagi “dewan pengarah” di setiap kegiatan pemulasaran jenazah. Yang paling mendekati hanyalah aturan soal honorarium untuk pejabat pengadaan jasa yang tentu saja nominalnya jauh di bawah Rp70 juta.

Anggota Panitia Khusus Covid-19 DPRD Jember Hadi Supaat menanggapi polemik sebagai keputusan yang fatal dan tidak etis. “Di situasi pandemi ini, semua pihak seharusnya merasa prihatin. Ini adalah wabah, ini adalah penderitaan. Saya tidak ingin pejabat di pemerintah daerah ini menari-nari di atas penderitaan rakyat, mengambil keuntungan. Kami baru tahu muncul SK tim struktur pemakaman Covid-19 yang di situ juga menyebut nama bupati,” kata Hadi kepada Kompas.

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Gulfino Guevarrato mengatakan regulasi yang dimaksud Bupati Jember adalah SK Bupati No. 188.45/1071.12/2021 yang dibuat oleh, tentu saja, Bupati Hendy Siswanto sendiri.

“Jadi yang buat aturan adalah Bupati sendiri, untuk mengambil anggaran dari kematian akibat Covid-19. Bupati Jember seperti melegalkan tindakan koruptifnya dengan dalih sudah ada regulasi yang mengatur,” kata Gulfino saat dihubungi VICE. 

Gulfino menilai Kemendagri perlu bekerja keras menyelesaikan urusan regulasi yang justru melegalkan tindakan koruptif kepala daerah. Kewenangan bagi daerah untuk mengalokasikan honor sebuah kegiatan harus diawasi ketat agar tepat guna.

“Dalam kasus Jember, bupati Hendy mengatakan telah menyumbangkan kembali [uangnya] ke keluarga korban Covid-19. [Padahal] esensinya bukan [di bagian] disumbangkan, tetapi ada tindakan yang tidak tepat yang dilegalkan,” ujar Gulfino.

“Telah disebutkan oleh Kemendagri, pemberian kewenangan pemberian honor kegiatan [memang] diserahkan ke pemerintah daerah, tetapi bukan kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin. Kedua, honor tersebut diberikan kepada yang memang punya peran signifikan, jangan sekadar numpang nama di SK. Ketiga, kesan yang tampak kemudian pemerintah daerah mengambil untung dari setiap nyawa yang hilang akibat Covid-19,” tutup Gulfino.

Kasus ini menjadi insiden bikin anggaran seenaknya yang kedua pekan ini. Baru dua hari lalu kami menulis soal Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud yang bisa-bisanya membangun rumah dinas bupati seharga puluhan miliar padahal jelas sedang pandemi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *